Dare Towards Excellence

Blusukan dan Karakter Pemimpin

09/11/2013 10:31

 

Oleh: Subandi Rianto

Peminat Politik dan Sejarah Islam,

Alumnus Departemen Sejarah Universitas Airlangga)

 

            Saat melihat pemimpin melakukan blusukan, seperti yang diawali Jokowi semasa menjabat Walikota Solo. Masyarakat perlu melihat sejauh mana maksud tujuan diadakannya blusukan. Karena bisa jadi perilaku tersebut merupakan ajang popularitas ditengah demokrasi Indonesia yang semakin pragmatis. Sehingga tak jarang pemimpin keblusuk dalam politik. Demikian kesimpulan opini Shidiq Premono yang dimuat Kedaulatan Rakyat 19 September 2013. Artikel ini merupakan tanggapan atas opini Shidiq Premono yang mengulas blusukan dan keblusuk para pemimpin Indonesia.

            Tanpa mengurangi rasa hormat kepada analisis politik yang menjadikan Jokowi sebagai inisiator budaya blusukan. Jauh beradab-abad sebelumnya dalam sejarah Islam, pemimpin negara macam Khalifah Umar bin Khatab sudah melakukan blusukan ke pasar-pasar. Menggendong bahan makanan untuk rakyatnya sendiri. Bahkan puluhan tahun berikutnya, perilaku sama diulang Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang mengendalikan negara penuh kesederhanaan. Semasa kepemimpinannya, keluarga Umar jauh dari gelimang harta, dan negara surplus dalam mensubsidi fakir miskin.

            Jika opini sebelumnya menyarankan masyarakat untuk selalu “melihat” maksud setiap pemimpin yang melakukan blusukan. Alangkah sia-sianya pemimpin yang selalu dicurigai masyarakatnya. Sangat jauh dari adagium suci “Pemimpin yang baik adalah yang mencintai rakyatnya dan rakyat selalu mencintainya”. Bagaimana jika konstruksi berpikirnya dibalik, mungkinkah pemimpin diciptakan bukan untuk selalu dicurigai dalam setiap tindakannya? Sederhananya, menciptakan pemimpin yang efektif seperti dua umar diatas. Kuncinya terletak pada embrio penghasil pemimpin seperti partai, kampus dan militer.

            Hanta Yudha (Direktur Pol-Tracking) dalam sebuah kesempatan orasi Konggres Negarawan Jakarta beberapa waktu lalu. Menjelaskan bagaimana partai-partai politik masa kini gagal melahirkan pemimpin efektif macam dua umar, Soekarno, Hatta, dan Natsir. Para politisi terjebak dalam demokrasi pragmatis yang mengedepankan elektabilitas dan uang. Disisi lain, produk-produk kampus juga dituduh gagal. Marzuki Alie, Ketua DPR RI pernah melontarkan pernyataan gagalnya kampus membentuk pemimpin. Karena pemimpin produk kampus menjadi koruptor-koruptor baru. Sementara itu, kepemimpinan militer masih menjadi prioritas kedua. Seiring tumbuhnya demokrasi negara yang lebih mengedepankan supremasi sipil dibanding militer. Berkaca dari kasus diatas, maka perlu membedah pusat-pusat kepemimpinan. Memperbaiki lumbung yang diserbu tikus bukan berarti harus membakar lumbungnya. Linier dengan pernyataan membangun Indonesia cukup dengan memperbaiki para pemimpinnya. Karena baik pemimpinnya maka akan baik masyarakatnya.

            Disfungi parpol dalam melahirkan pemimpin intelektual perlu dibedah kembali. Menurut Wakil Ketua KPK Adnan Pandu, Parpol seharusnya bertanggungjawab atas lahirnya pemimpin koruptor di DPR RI (Kedaulatan Rakyat, 18 September 2013). Tugas utama partai adalah menciptakan para pemimpin yang berani berdebat argumen dan gagasan ketimbang pencitraan semata. Sekolah-sekolah politik hanya berlangsung saat menjelang pemilu, sehingga mengharapkan politisi macam Natsir, Hatta dan Soekarno yang beradu intelegensia dewasa ini semakin pesimis.

Partai menjual program-program hanya untuk mendulang suara. Minus program-program edukasi kemasyarakatan. Padahal lahirnya karakter pemimpin yang dekat dengan masyarakat ditentukan manifesto politik yang dibangun partai. Simak bagaimana Natsir sebagai Ketua Masyumi melakukan blusukan ke berbagai daerah dalam rangka mengajukan mosi integral diparlemen RIS. Natsir dikenal juga bukan karena blusukan. Selain sebagai ulama yang sering menulis di surat kabar, Natsir juga pandai berpidato di depan parlemen.

            Dunia kampus juga demikian, gerakan mahasiswa semakin meredup setelah hiruk-pikuk reformasi berakhir. Sangat jamak ditemui mantan aktivis kampus kemudian bergabung ke dalam partai. Jarang sekali mereka mewarnai, justru mereka terwarnai dan melebur bersama dengan budaya partai. Budaya ini kemudian turut menjadi salah satu penyebab infiltrasi partai masuk dalam kaderisasi kampus.

            Kata kunci sejatinya adalah embrio dan karakter. Pemimpin besar dilahirkan dari proses panjang dan organisasi yang bukan ecek-ecek. Proses itulah yang akan membentuk karakter seorang pemimpin. Tugas-tugas kita selajutnya adalah melakukan purifikasi partai, kampus dan militer ke dalam tugas utama mereka. Saat partai bisa menjalankan tugasnya mendidik pemimpin, mengedukasi masyarakat. Maka politik uang dan patron akan bisa diminimalisir. Saat aktivis kampus bisa bersama-sama mengurangi budaya pragmatis dalam politik kampus. Serta memulai budaya baru dalam panggung politik nasional. Kedepannya akan sangat mudah membaca gerak pemimpin Indonesia. Pragmatis atau tidaknya usaha mereka bisa diliat rekam jejakanya saat meniti karir. Pemimpin sejati tidak akan menggadaikan integritasnya hanya demi popularitas semata.

Search site

Contact

Subandi Rianto INTEGRITAS Institute
Gubeng Kertajaya I1 No 21 Surabaya

Twitter: @subandirianto
FB : subandi rianto
Web: www.subandirianto.com
Pin BBM 7D3B001C

BEM Seluruh Indonesia

File Pra-Rapat Koordinasi Nasional Aliansi BEM Seluruh Indonesia Tahun 2012

formulir pendaftaran.docx (754631) proposal rakernas bem si 2012.pdf (608185) surat permohonan delegasi.pdf (394953)  

BEM SI dan Kemajuan Jawa Timur.

BEM SI dan Kemajuan Jawa Timur.

              Ada nuansa tersendiri, seminggu yang lalu saat saya bersama pengurus BEM KM UNAIR silaturahmi kepada Gubernur Jawa Timur, Dr. H. Soekarwo, M. Hum. Beliau secara sekilas memaparkan bahwasanya pemerintah sangat membutuhkan...